Social Icons

Pages

Saturday, September 17, 2011

Ingin Sehat Makan Buah, Malah Kena Kanker

Lagi baca - baca kompas.com, eh ketemu artike lucu. Ijin CoPas yah kompas.com hehehe... karena artikel-nya menarik untuk dibaca dan diabadikan makanya Dhie pilih artikel ini buat di re-post di blog Dhie.

KOMPAS.com — Apa benar orang makan buah, kok, malah kena kanker? Kalau saya yang disuruh jawab, saya akan langsung tegas menjawab, "Bisa!" Terutama bagi orang Indonesia yang bertandang ke Jepang.
Kok, bisa? Bukannya buah-buahan di Jepang justru kualitas unggul? Iya, memang betul! Justru karena kualitas unggul itulah membeli buah di Jepang bisa membuat "kanker". Nah, "kanker" yang dimaksud adalah "kantong kering", he-he.


Mahalnya buah di Jepang


Inilah mengapa saya membuat judul tulisan ini ada "kanker"-nya. Yah, bagaimana tidak kanker, kalau satu buah alpukat harganya jika dirupiahkan Rp 16.000. Satu buah pir, apel, dan jeruk harganya Rp 10.000. Satu buah melon kecil harganya Rp 70.000 dan satu buah semangka ukuran sedang Rp 200.000-an.
Ini semua yang saya sebut masih dalam kualitas biasa, lho. Kalau kualitas lebih bagus, harganya jauh lebih mahal. Apalagi kualitas super, duh, mikir 10 kali kalau mau beli, ya.

Karena di beberapa supermarket (di sini tidak ada pasar becek alias pasar tradisional, semua serba supermarket) dijual juga melon dengan kualitas super. Satu buah ukuran biasa (memangnya melon mau sebesar apa, he-he) seharga Rp 1 juta.

Waduh, mikir 10 kali lipat enggak tuh kalau mau beli? Untuk anggur juga ada yang per 100 gram bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Wow, saat makan sebutir anggur, menikmatinya bisa semenit tuh, sambil mikir, "10.000 nih untuk satu butir anggur."

Kebayang enggak, sih, kalau di Jepang ada yang jual es campur atau es buah, harganya berapa ya? He-he. Makan buah saja mahal benar, ya. Memangnya apa rasa buahnya ada bedanya? Terus baca artikel ini untuk menemukan jawabannya.

Beli buah di Jepang, per buah, bukan per kilogram 

Oya, mengapa dari tadi saya menyebutnya satu buah, bukan satu kilogram? Karena di Jepang, sebagian besar buah dijual per buah. Maklum, di Jepang semuanya sangat terstandar. Bahkan, dengar-dengar telur saja harus diuji kualitasnya sebelum dijual ke pasaran. Padahal, tiap pengepakan, pastilah ukurannya rata-rata sama telurnya. Jadi, enggak ada tuh ceritanya satu kardus telurnya ada yang kecil dan ada yang besar.

Jadi, kalau kecil, ya, kecil semua. Kalau besar, ya, besar semua. Makanya, jangan heran jika suatu saat Anda belanja telur dengan merek yang sama, harganya hari ini bisa saja berbeda dengan kemarin.Karena kedaluarsa? Bukan! Namun, mungkin hari ini ayamnya lagi malas, jadi telurnya kecil-kecil. Lalu besok ayamnya lagi mood, jadi telurnya besar-besar. Besok lagi, ayamnya sedang ngambek, keluarnya telur yang ukuran sedang. Jadi, di sini semua dijual memang berdasarkan kualitas.

Jika kualitas memang tak bagus, ya, secara jujur dijual lebih murah dan begitulah seterusnya. Jadi, saya senang belanja di Jepang karena tak ada rasa takut dibohongi dan harga betul-betul sesuai kualitas. Semakin mahal harganya, sudah pasti kualitasnya lebih bagus. Jika itu adalah makanan, rasanya pasti lebih enak.

Yup, jadi mau pilih yang mana saja, asal harganya sama, pasti buah itu memiliki berat dan rasa yang nyaris sama. Paling jika beda, ya, beda-beda tipis rasa manis-asam dan beratnya beda beberapa gram saja. Kasirnya saat menghitung juga enak. Tinggal dihitung saja ambil berapa buah lalu langsung dikalikan harga buahnya.

Tentu dalam hal ini, buah-buahan kecil tidak termasuk, ya. Misalnya anggur, blueberry, dan buah-buah kecil lainnya. Kalau yang ini tetap dijual per kilogram. Amit-amit kalau misalnya beli anggur lalu dihitung per butir, mata kasirnya bisa juling karena menghitung anggur butir per butir, he-he.

Buah di Jepang versus Indonesia 

Jujur, seharusnya Indonesia tak kalah dengan Jepang. Sayang sungguh disayang, di Indonesia beberapa perkebunan tampaknya memiliki prinsip ekonomi yang kuantitas lebih dimajukan daripada kualitas.
Andai orang Indonesia mau fokus profesional seperti orang Jepang. Pastilah hasil yang dituai juga tak kalah manis. Barang yang dipanen pun bisa dijual dengan harga yang lebih elite.

Saya lihat di sekitar tempat tinggal saya di Nagano, Jepang, banyak sekali terdapat perkebunan buah. Semua kebun dirawat dengan sangat detail, teliti, dan penuh kasih sayang. Hebatnya, jika itu adalah perkebunan kecil, kebun tersebut dirawat sendiri oleh sang pemilik.

Jika itu kebun besar, memang mereka menggunakan pekerja, tetapi sang pemilik tak lepas tangan begitu saja. Ia juga adalah seseorang yang paham betul tentang bercocok tanam. Dengan demikian, hasil yang dipanen kemudian adalah buah dengan rasa yang unggul.

Padahal, secara geografis, Indonesia memiliki varietas buah yang lebih bermacam-macam dengan kondisi tanah yang subur pula. Namun, entah mengapa, lihatlah, nyaris semua petani dan pekebun lebih suka membiarkan tanamannya "dijaga" oleh pestisida.

Tak seperti di Jepang, terutama di daerah tempat saya tinggal, mereka menjaga tanaman mereka pagi hingga sore dan dengan rajin membersihkan kebun dari hama secara manual. Sepertinya mereka juga menggunakan pupuk organik. Ini, sih, perkiraan saya, ya.

Soalnya pernah beberapa kali lewat perkebunan dan ada aroma khas pupuk organik. Maksudnya, bau kotoran hewan, he-he. Hasilnya? Tentu buah yang bebas pestisida, lebih segar, pokoknya enak, deh.

 Rasa buah-buahan di Jepang

Buah pir Jepang yang namanya nishi ini adalah buah favorit saya dan suami. Rasanya sungguh berbeda dengan pir yang beredar banyak di Indonesia. Buah pir ini memiliki kadar air yang sangat banyak dan sangat "kreeeess" ketika digigit.

Rasanya pun manis yang sangat segar. Apalagi ketika buah ini dikonsumsi dalam keadaan dingin di musim panas membara. Jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan pir di Indonesia yang seharga berapa pun.
Soalnya, inilah keistimewaan dari pir Jepang, kadar airnya itu, lho, enggak tahan. Alhasil, meski lagi bokek akhir bulan, kami masih sempat-sempatnya memaksakan diri membeli buah ini untuk pelega tenggorokan.
Oya, perbedaan fisiknya dibandingkan dengan buah pir ala Barat atau China juga ada, lho. Buah pir Jepang ini memiliki bentuk tubuh seperti tokoh kartun Doraemon alias bulat dan berkulit kasar.

Buah momo atau persik juga menjadi kecintaan saya dan suami. Lagi-lagi, buah momo ini juga memiliki cita rasa tersendiri dibandingkan dengan buah persik dari negara lain. Persik yang ditanam di Jepang memiliki rasa manis yang lembut sekali. Tidak asam, dagingnya sangat lembut dan segar.
Sayang, kami jarang membeli buah ini sebab harganya tiga kali lipat dibandingkan dengan si nishi. Jadi, makan si momo ini paling kalau habis gajian saja, ha-ha. Kalau lagi ingin yang segar-segar di saat tanggal tua, ya, sudah belinya nishi saja, daripada kena "kanker", he-he.

Nah, kalau ringo itu bukan Agus Ringo si artis itu, ya, he-he. Kata ringo adalah bahasa Jepang untuk buah apel. Dalam ejaan Inggris ala Jepang, buah ini juga disebut appuru. Apel Jepang memiliki keunggulan dibandingkan dengan apel dari negara lain.

Mengapa lagi-lagi unggul? Soalnya, belum pernah saya makan apel seenak ini sebelumnya. Apel Jepang memiliki tipikal daging yang mudah sekali digigit. Meski empuk, empuknya itu bukan seperti kapas layaknya apel-apel mahal di Indonesia.

Apel di sini empuknya itu ketika digigit berasa sekali “kreeesss”-nya. Mirip dengan si nishi. Bedanya apel ini airnya tidak sebanyak nishi. Jika Anda ingin menikmati apel Jepang yang benar-benar tulen enaknya, makanlah apel yang ditanam saat musim salju. Apel tak cuma bewarna merah menggiurkan, tetapi juga manisnya lebih berlipat-lipat daripada apel musim panas.

Sementara itu, mikan adalah bahasa Jepang untuk buah jeruk. Jeruk yang direkomendasi untuk dibeli adalah jeruk yang kecil-kecil, yaitu jeruk mandarin. Lalu cari yang warnanya oranye dengan tekstur kasar, bukan yang masih kuning dan mulus licin.

Beberapa kali beli jeruk dengan warna yang beda-beda mulai dari merah sampai yang kuning, semuanya asam! Biasanya jeruk ini dipakai untuk campuran hidangan penutup. Kalau diolah menjadi puding, rasanya jadi lumayan lebih enak.

Namun, untuk jeruk mandarinnya, rasanya enak. Harganya juga beda, jeruk mandarin yang imut-imut 6 buah harganya mencapai Rp 70.000. Hmm, kalau di Indonesia sudah dapat 40 sampai 50 buah. Hebatnya, jeruk di Jepang tidak ada bijinya, jadi makannya tidak susah.

Sebetulnya nama merong itu adalah katakana untuk melon. Ya, orang Jepang, kan, tidak bisa bilang huruf "L" dan susah untuk mengakhiri kata dengan nada "N". Jadi "N" dibaca NG. Melon jadi dibaca merong.
Melon di sini "super". Gimana enggak super? Harga memang tak berbohong, yang saya makan selalu melon dengan kualitas biasa seharga Rp 80.000. Rasa manisnya sungguh tanpa cacat! Dagingnya juga enggak lembek alias padat.

Airnya segar dan lebih banyak dibandingkan dengan melon-melon yang pernah saya makan di Indonesia. Ini baru melon yang kualitas biasa. Bagaimana, ya, rasanya melon yang harganya Rp 1 juta per buah.

Pelajaran dari buah-buahan Jepang

Ribuan pujian enggak akan habis untuk memuji buah-buahan Jepang. Setelah menyerah akibat bom atom dan tak boleh lagi memiliki tentara perang, ia berubah sungguh menakjubkan.

Semua serba diutamakan kualitas. Ia maju karena kualitas. Tentunya mereka juga tahu bahwa kualitas sumber daya manusia yang unggul itu tercipta mula-mula karena baiknya gizi yang tersuplai pada janin dan bertumbuh menjadi orang dewasa yang pintar, cekatan, kuat, dan sehat.

Buah-buahan yang sehat tanpa campur tangan pestisida. Belum lagi uji kualitas yang terstandar sebelum hasil panen tersebut sampai ke tangan konsumen. Lalu kejujuran pihak supermarket untuk tidak menjual buah secara sembarangan. Buah yang sudah tidak segar selalu diletakkan di rak diskonan dengan harga jauh di bawah buah yang masih segar.

Mereka tak pernah menjual buah kualitas rendah dengan harga mahal. Di sini terlihat tak ada tengkulak yang bermain dan menindas petani. Bahkan, bisa dikata, di kota tempat saya tinggal, orang-orang kaya didominasi oleh petani dan pekebun.

Meski mahal harganya, masyarakat mampu membeli. Mengapa? Karena roda perekonomian berputar. Kebijakan pemerintah menjadikan seluruh elemen masyarakat bisa bekerja dan terlindungi hak-haknya dari kecurangan dan penindasan.

Tak ada yang namanya petani ditindas. Tak ada namanya harga pupuk dimain-mainkan. Tak ada namanya tengkulak yang main kasih harga sembarangan. Tertanam dalam diri mereka untuk lebih mencintai produksi dalam negeri.

Narsis terhadap produk dalam negeri inilah yang membuat roda perekonomian berputar sangat cepat. Dari desa ke kota, dari perajin sampai ke pemilik toko dan perusahaan, semua kebagian jatah ekonomi.
Menurut saya, buah yang sehat dan dikonsumsi setiap hari juga turut memberikan kontribusi yang membuat manusia Jepang memiliki ketahanan tubuh dan keenceran otak yang tak perlu diragukan lagi.
Jadi, istilah "kanker" di sini tentunya untuk kami, pekerja dari Indonesia, yang datang ke Jepang dengan tujuan mencari uang. Alih-alih tabungannya menumpuk, yang ada tiap hari tergiur untuk makan buah.
(Catur Guna Yuyun Angkadjaja dari Nagano, Jepang)

Sumber : Kompas.com

No comments:

Post a Comment

 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates